Selasa, 01 Juli 2014

Latar Belakang EPAM

Manusia yang mampu mendengar akan memiliki informasi yang banyak dan  akan terjadi sebaliknya bagi manusia yang memiliki hambatan pendengaran, seperti halnya anak tunarungu.  Tunarungu hakekatnya diklasifikasikan pada kesulitan dalam mendengar dan tuli. Kesulitan dalam mendengar sebagai dampak dari hilangnya kemampuan pada tingkat 35 dB hingga 69dB dan dikatakan tuli apabila kehilangan kemampuan mendengar lebih dari 70 dB (Winarsih, 2007). Anak tunarungu dalam berkomunikasi menggunakan bahasa mimik atau dengan bahasa isyarat. Kedua bahasa ini memfokuskan pada indera penglihatan, untuk melihat dan membaca bahasa yang diungkapakan. Bahasa mimik menekankan pada kemampuan mengucapakan kata dengan artikulasi yang jelas dan kemampuan membaca gerakan bibir kawan bicara.

Pada SLB Karnna Manohara, yang merupakan sekolah khusus bagi anak tunarungu, memiliki media pembelajaran yang sering digunakan untuk melatih kemampuan bahasa mimik yaitu cermin artikulasi. Yang membedakan dengan cermin biasa adalah pada perlengkapan elektronik yang telah tersedia untuk anak tunarungu, seperti headset sebagai pengeras suara bagi anak tunarungu, microphone, dan lampu indikator level suara yang menandakan adanya bunyi yang dikeluarkan oleh anak tunarungu. Melatih kemampuan untuk mengeluarkan suara penting bagi anak tunarungu karena terkadang anak tunarungu malas mengeluarkan suara sehingga kata yang diucapkan kurang jelas. 

Cermin ini sangat penting untuk mendukung pembelajaran, karena setiap orang termasuk anak tunarungu tidak mampu melihat bibir masing-masing tanpa bantuan suatu media, seperti cermin. Lebih lanjut dalam belajar menggunakan bahasa mimik, anak dituntut untuk mengetahui apa yang diucapkan sehingga mengetahui kata atau kalimat yang salah.  Melalui cermin ini anak tunarungu dilatih bahasa mimik dengan cara melihat ucapan guru dengan artikulasi yang benar dan anak tunarungu menirukan ucapan guru tersebut. Namun dengan ukuran cermin artikulasi yang besar, tidak memungkinkan untuk dipindah tempatkan. Padahal pembelajaran bahasa yang baik adalah mengulangi dan membiasakan untuk menggunakan bahasa tersebut. Cermin artikulasi yang berukuran besar ini menyebabkan anak tunarungu kesulitan untuk belajar bahasa mimik selain di sekolah. Keberadaannya di sekolah mengakibatkan pembelajaran bahasa mimik hanya dapat dilakukan oleh guru. Sedangkan di rumah, orang tua tidak dapat memberi penguatan bahasa mimik secara optimal pada anak tunarungu karena media cermin artikulasi yang berada di sekolah tidak
dapat dibawa pulang ke rumah. 

Dari permasalahan di SLB Karnna Manohara tersebut, solusi yang ditawarkan adalah media pembelajaran Electronic Portable Articulation Mirror (EPAM) yang berupa cermin artikulasi portabel dengan memiliki kelebihan mampu dibawa kemana-mana, seperti di sekolah maupun di rumah. Sehingga orang tua dapat pula memperkuat kemampuan bahasa mimik anak tunarungu setelah mendapat pelajaran dari guru di sekolah. Bagitu juga perlengkapan elektronik seperti microphone, headset, speaker, indikator level suara, hingga baterai charge yang dapat diisi ulang dayanya. 

0 komentar:

Posting Komentar