Manusia yang mampu mendengar akan memiliki informasi yang
banyak dan akan terjadi sebaliknya bagi manusia yang memiliki hambatan
pendengaran, seperti halnya anak tunarungu. Tunarungu hakekatnya
diklasifikasikan pada kesulitan dalam mendengar dan tuli. Kesulitan dalam
mendengar sebagai dampak dari hilangnya kemampuan pada tingkat 35 dB hingga
69dB dan dikatakan tuli apabila kehilangan kemampuan mendengar lebih dari 70 dB
(Winarsih, 2007). Anak tunarungu dalam berkomunikasi menggunakan bahasa mimik
atau dengan bahasa isyarat. Kedua bahasa ini memfokuskan pada indera
penglihatan, untuk melihat dan membaca bahasa yang diungkapakan. Bahasa mimik
menekankan pada kemampuan mengucapakan kata dengan artikulasi yang jelas dan
kemampuan membaca gerakan bibir kawan bicara.
Pada SLB Karnna Manohara, yang merupakan sekolah khusus
bagi anak tunarungu, memiliki media pembelajaran yang sering digunakan untuk
melatih kemampuan bahasa mimik yaitu cermin artikulasi. Yang membedakan dengan
cermin biasa adalah pada perlengkapan elektronik yang telah tersedia untuk anak
tunarungu, seperti headset sebagai pengeras suara bagi anak tunarungu,
microphone, dan lampu indikator level suara yang menandakan adanya bunyi yang
dikeluarkan oleh anak tunarungu. Melatih kemampuan untuk mengeluarkan suara
penting bagi anak tunarungu karena terkadang anak tunarungu malas mengeluarkan
suara sehingga kata yang diucapkan kurang jelas.
Cermin ini sangat penting untuk mendukung pembelajaran,
karena setiap orang termasuk anak tunarungu tidak mampu melihat bibir
masing-masing tanpa bantuan suatu media, seperti cermin. Lebih lanjut dalam
belajar menggunakan bahasa mimik, anak dituntut untuk mengetahui apa yang
diucapkan sehingga mengetahui kata atau kalimat yang salah. Melalui
cermin ini anak tunarungu dilatih bahasa mimik dengan cara melihat ucapan guru
dengan artikulasi yang benar dan anak tunarungu menirukan ucapan guru tersebut.
Namun dengan ukuran cermin artikulasi yang besar, tidak memungkinkan untuk
dipindah tempatkan. Padahal pembelajaran bahasa yang baik adalah mengulangi dan
membiasakan untuk menggunakan bahasa tersebut. Cermin artikulasi yang berukuran
besar ini menyebabkan anak tunarungu kesulitan untuk belajar bahasa mimik
selain di sekolah. Keberadaannya di sekolah mengakibatkan pembelajaran bahasa
mimik hanya dapat dilakukan oleh guru. Sedangkan di rumah, orang tua tidak
dapat memberi penguatan bahasa mimik secara optimal pada anak tunarungu karena
media cermin artikulasi yang berada di sekolah tidak
dapat dibawa pulang ke rumah.
Dari permasalahan di SLB Karnna Manohara tersebut, solusi
yang ditawarkan adalah media pembelajaran Electronic Portable Articulation
Mirror (EPAM) yang berupa cermin artikulasi portabel dengan memiliki kelebihan
mampu dibawa kemana-mana, seperti di sekolah maupun di rumah. Sehingga orang
tua dapat pula memperkuat kemampuan bahasa mimik anak tunarungu setelah
mendapat pelajaran dari guru di sekolah. Bagitu juga perlengkapan elektronik
seperti microphone, headset, speaker, indikator level suara, hingga baterai charge
yang dapat diisi ulang dayanya.
0 komentar:
Posting Komentar